19 November 2015

Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aktivitas dakwah sebenarnya telah ada sejak adanya upaya menyampaikan dan mengajak manusia ke jalan Allah, namun kajian akademik keilmuannya masih tertinggal dibandingkan dengan panjangnya sejarah dakwah yang ada. Sebagai sebuah realita dakwah merupakan bagian yang senantiasa ada sebagai aktivitas keagamaan umat Islam. Sementara sebagai kajian keilmuan pastinya hal ini memerlukan spesifikasi yang berbeda dan persyaratan tertentu.
Dewasa ini terdapat fenomena yang kemudian menempatkan kesadaran umat bahwa dakwah sebagai suatu aktivitas keagamaan memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk kecenderungan masyarakat. Hal ini sekaligus menumbuhkan secara jelas dan tegas sehingga ilmu ini dapat memberikan inspirasi yang baik bagi kecenderungan masyarakat.
Maraknya dakwah, ternyata belum mampu menahan masuknya beberapa ajaran atau pemahaman yang tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama secara hedonistik, materialistik, dan sekuleristik. Hal inilah yang menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami dan menghayati pesan simbolis keagamaan. Sehingga ritualitas perilaku kesalehan beragama dalam masyarakat tidak menerangkan tentang perilaku keagamaan yang sesungguhnya dimana nilai-nilai keagamaan menjadi pertimbangan berpikir maupun bertindak oleh individu maupun sosial.
Ilmu dakwah mengalami proses perkembangan yang positif sehingga semakin hari semakin estabilished sehingga semakin waktu mendapat sambutan dan pengakuan dari masyarakat mengenai eksistensinya.  

1.2 Rumusan masalah
1. Memahami Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah
2. Mengetahui beberapa hal yang dimuat dalam Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah

1.3 Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang akan dibahas tidak terlalu meluas, penulis batasi masalah yang akan dibahas yaitu Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah

1.4 Tujuan
  1. Untuk mengetahui tentang Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah
  2. Untuk mengetahui pentingnya  Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah untuk diterapkan dalam aktivitas kehidupan bermasyarakat
1.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
.... Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penyusun menggunakan studi Perpustakaan pencarian di buku-buku mengenai Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah
  

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah dan Perkembangan Ilmu  Dakwah
Pengembangan (developing) merupakan salah satu perilaku manajerial yang meliputi pelatihan (couching) yang digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan seseorang dan memudahkan penyesuaian terhadap pekerjaannya dan kemajuan karirnya. Proses pengembangan ini didasarkan atas usaha untuk mengembangkan sebuah kesadaran, kemauan, keahlian, serta keterampilan para elemen dakwah agar proses dakwah berjalan secara efektif dan efisien. Pengembangan dan pembaharuan adalah dua hal yang sangat diperlukan. Rasulullah SAW. Mendorong umatnya supaya selalu meningkatkan kualitas, cara kerja dan sarana hidup, serta memaksimalkan potensi sumber daya alam semaksimal mungkin. Karna Allah telah meciptakan alam semesta ini untuk memenuhi hajt hidup manusia.  
Keilmuan dalam ilmu Islam telah berkembang dengan mantap dan pasti. Dimana Nabi muhammad sebagai tokoh penyebar agama Islam telah memberikan penegasan tentang fungsi dan peranan ilmu dalam Islam Sabda Nabi antara lain:

            Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah. (HR.Ibnu Majah)
Ilmu-ilmu Islam baru muncul pada masa-masa awal dari dinasti Abbasiyah (133-766 H/750-1258 M), setelah kaum muslimin dapat menciptakan stabilitas keamanan di seluruh wilayah Islam. Di sisi lain kaum muslimin yang tingkat kehidupannya memang semakin baik, tidak lagi berorientasi untuk memperluas wilayah melainkan berupaya untuk membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka munculah berbagai kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini yang terdiri dari tiga bentuk , yakni
1.      Penyusunan buku-buku
2.      Perumusan ilmu-ilmu islam
3.      Buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab1

1         Amin, Samsul, Drs. 2013. Ilmu Dakwah. Jakarta. hlm. 38-39

Aktivitas dakwah sesungguhnya telah dilakukan oleh Nabi Muhammad, dan dilanjutkan oleh para penerusnya dan ulama-ulama serta tokoh-tokoh Islam sampai sekarang. Berkembangnya agama Islam sejak pada Nabi sampai sekarang di seluruh penjuru dunia tidak lain karena adanya aktivitas dakwah. Hanya saja kajian mengenai dakwah sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri baru dilakukan kemudian oleh umat Islam. Kajian ilmu dakwah sebenarnya sudah dimulai sejak abad 10 M, oleh Ibnu Nubathah (946-984 M). Sayang karya Ibnu Nubathah ini sampai sekarang belum jelas diketahui. Kajian ilmu dakwah terus berkembang dengan pesat, setelah periode pembaharuan atau modernisasi Islam pada abad 19 M di Arabia, Mesir dan India.
Pada masa ini Ilmu dakwah telah tumbuh sebagai ilmu yang banyak mendapat perhatian dikalangan ulama, kerena keberadaan dakwah Islam sebagai kegiatan penyebaran agama Islam amat dibutuhkan dengan berbagai pendekatan dan teori sehingga memudahkan para juru dakwah melakukan kegiatan dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat luas, diperlukan suatu metode tersendiri agar pesan-pesan Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat sebagai objek dakwah. Dalam hal ini kajian mengenai dakwah sebagi suatu ilmu mendapat perhatian yang cukup besar dari para pemikir Islam. Jika pada masa pertumbuhan pembahasan mengenai dakwah hanya berkisar dalam pembahasan al-amar bi al-ma’ruf an-nahnu an al-munkar maka pada masa berikutnya pembahasan ilmu dakwah berkembang lebih luas, akan tetapi sudah menjurus kepada pembahasan di sekitar unsur-unsur dakwah: mengenai subjek dakwah (Da’i). Metode Dakwah (Kaifiyyah Ad-Da’wah), Media dakwah (Wasilah Ad-Da’wah), materi dakwah (Maddah Ad-Da’wah), dan objek dakwah (Mad’u).
Kajian dan pembahasan ilmu dakwah kemudian berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan dan dinamika zaman. Pembahasan mengenai Ilmu dakwah pertama kali diajarkan di lingkungan akademik, dirintis oleh Syaikh Ali Mahfudz (1880-1942 M) salah seorang ulama terkenal dan murid Syaikh Muhamad Abduh di Universitas Al-Azhar di mesir.2

2    Amin, Samsul, Drs. 2013. Ilmu Dakwah. Jakarta.  hlm.44-45
Secara akademisi, kajian mengenai Ilmu dakwah di Indonesia telah dimulai sejak 1950, sejak adanya Perguruan Tinggi Agama Islam. kemudian dilanjutkan dengan dibukanya jurusan Dakwah pada Fakultas Ushuludin PTAIN (IAIN) pada tahun 1960. Dan mulai tahun 1970 jurusan Dakwah berubah menjadi Fakultas Dakwah, dengan jurusan Penerangan dan Penyiaran Agama islam. Kemudian, pada tahun 1995 Fakultas Dakwah membuka jurusan-jurusan baru sebagai pengembangan jurusan Dakwah, yaitu jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), dan Jurusan Manajemen Dakwah (MD).3
Setelah menjadi sebuah fakultas tersendiri, Ilmu dakwah dikembangkan secara secara lebih leluasa hingga saat ini. Pihak Departemen Agama juga ikut membantu pengembangan Fakultas Dakwah melalui beberapa Keputusan Menteri Agama yang terkait dengan keilmuan IAIN, antara lain sebagai berikut.
1.      Surat Keputusan Menteri Agama H.Alamsjah Ratu Perwiranegara Nomor 97 Tahun 1982 tentang Pelaksaan Kurikulum dan Sylabus IAIN Tahun 1982 tertanggal 2 Oktober 1982. Dalam SK Menteri Agama ini Fakultas Dakwah telah dikembangkan menjadi dua jurusan, yaitu Jurusan Penerangan dan Penyiaran Agama Islam(PPAI) dan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Masyarakat (BPM).
2.      Surat Kepusan Menteri Agama H.Alamsjah Ratu Perwiranegara Nomor 110 Tahun 1982 tentang Penetapan Penetapan Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam tertanggal 2 Oktober 1982. Dalam SK Menteri Agama ini, Ilmu Dakwah menjadi sub disiplin dari disiplin Dakwah dalam bidang Dakwah Islamiyah.
3.      Surat Keputusan Menteri Agama (Menag) H.Munawir Sjadzali Nomor 122 Tahun 1988 tentang Pelaksanaan Kurikulum S1 IAIN tertanggal 27 Juli 1988. Dalam SK Menag ini, Ilmu Dakwah dipilih menjadi dua bagian yaitu Ilmu Dakwah Pengantar dan Ilmu Dakwah Metodologi.
4.      Surat Keputusan Menteri Agama H. Tarmizi Taher Nomor 27 Tahun 1995 tentang Kurikulum Nasional Program Sarjana (S1) IAIN tertanggal 18 Januari 1995. Dalam SK. Menag ini, Fakultas Dakwah mengembangkan dau jurusan lagi, sehingga Fakultas Dakwah memiliki empat jurusan, yaitu Komunikasi
3     Amin, Samsul, Drs. 2013. Ilmu Dakwah. Jakarta. hlm 44-45
dan Penyiar Islam (KPI), Bimbingan dan Penyulan Islam (BPI), Manajemen Dakwah (MD), dan Pengembangan masyarakat Islam (PMI).
5.      Surat Keputusan Menteri Agama H. Tarmizi Taher Nomor 383 Tahun 1997 tentang Kurikulum Nasional Program Sarjana (S1) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang disempurnakan dan Kurikulum Nasional Program Sarjana (S1) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) tertanggal 30 Juni 1997. Dalam SK menag ini, Ilmu Dakwah tidak lagi sebagai pengantar serta tidak berada dalam mata kuliah komponen fakultas namun dimasukan dalam komponen jurusan.4  
Pada tahun 1960-an, terjadi perkembangan baru dalam pemikiran tentang dakwah, dimana dakwah sudah tidak dipahami secara mikro (sempit) dan terbatas. Pada tahun 1960-an juga, muncul suatu kelompok pemikir dakwah yang bergabung dalam Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) di Jakarta yang diprakarsai oleh Brigjen Sudirman, Shalahuddin Sanusi, Sujoko Prasojo, Wijisaksono, Brigjen M.Sarbini dan lain-lain.
Secara garis besar, tahap-tahap perkembangan Ilmu Dakwah terbagi dalam tiga tahapan. Pertama, Tahap Konvensional. Pada tahap ini dakwah masih merupakan kegiatan keagamaan berupa seruan atau ajakan untuk menganut dan mengamalkan ajaran Islam yang dilakukan secara konvensional. Artinya, dalam pelaksanaannya, dakwah belum berdasar kepada metode-metode ilmiah, tetapi berdasarkan pengalaman orang perorang. Oleh karena itu, tahap ini juga disebut dengan tahap tradisional.
Kedua, tahap sistematis. Tahap ini merupakan tahap pertengahan antara tahap konvensional dan tahap berikutnya, yaitu tahap ilmiah. Pada tahap ini, dakwah yang ada dalam tahap konvensional diatas sudah mulai dibicarakan secara khusus oleh beberapa kalangan,sehingga muncul beberapa literatur yang secara khusus membahas dakwah.
Ketiga, tahap ilmiah. Pada tahap ini, dakwah telah berhasil tersusun sebagai ilmu pengetahuan. Dari tahapan-tahapan diatas, kita harus membedakan pemikiran dakwah sebagai kegiatan dan dakwah sebagai ilmu.
Berkembangnya Islam sampai saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa itu semua berkat adanya aktivitas dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh para juru dakwah dan para
4    Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta
ulama yang dengan semangat dan keikhlasannya mengembangkan agama Islam kepada mereka yang belum memeluk agama Islam.
Menyiarkan suatu agama harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga kegiatan dakwah untuk menyiarkan agama tersebut dapt diterima dan dipeluk oleh umat manusia dengan kemauan dan kesadaran hatinya, bukan dengan paksaan dan ikut-ikutan saja. Suatu agama tak akan tegak tanpa adanya dakwah, suatu ideologi atau aliran tidak akan tersebar dan tersiar tanpa adanya kegiatan untu menyiarkannya.
Sejarah memberikan pelajaran kepada kita bahwa setiap kelompok yang menyeru atau mengajak orang kepada suatu paham niscaya ada pengikutnya, walaupun paham itu tidak benar atau bathil. Aliran atau paham yang bahtil dapat berkembang dengan penyiaran yang terus menerus, sebaliknya paham yang benar atau ideologi yang hak akan lenyap karena meninggalkan upaya penyiaran dan dakwah.
2.2 FIQH DAKWAH
Pesan dakwah harus berisi kebenaran semata. Persoalan kebenaran telah lama menjadi polemik antara kaum teolog, filsuf, bahkan para ilmuwan. Dalam Islam, kita mengenal kebenaran hakiki dan kebenaran relatif. Wahyu yang berasal dari Allah SWT, adalah satu-satunya kebenaran hakiki. Selanjutnya kita menyebutnya dengan kebenaran wahyu. Lainya adalah kebenaran relatif atau nisbi yang lahir dari akal manusia. Selanjutnya kita istilahkan dengan kebenaran akal.
Setiap muslim harus mengimani pada kebenaran wahyu, mendakwahkan kepada orang dan menjalankanya dalam kehiduapan sehari-hari. Kebenaran wahyu tidak dapat diganggu gugat, Ada kebenaran wahyu yang dapat dijangkau oleh akal dan ada pula yang di luar jangkauan. Kebenaran wahyu harus diletakkan pada posisi yang pertama dan
utama, karena apa pun yang di yakini kebenaranya oleh manusian harus diukur denagn kebenaran wahyu. Kebenaran wahyu termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah.
Seluruh ayat Al-Qur’an dan teks hadis adalah pesan dakwah di samping itu, beberapa pola dakwah juga banyak di jelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi SAW. Contoh dakwah para nabi juga di tampilkan dengan jelas. Begitu pula, gambaran Nabi SAW melakukan dakwah Islam ditampilkan dalam hadis. 5
5 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 138-139
Dalam berdakwah, pendakwah tidak boleh meninggalkan akal pikiran, Akal digunakan untuk menafsirkan kebenaran wahyu yang kemudian diolah sebagai pesan dakwah. Akal juga dimanfaatkan untuk menjaga etika dakwah dengan menggali hukum yang berkenaan dengan masalah dakwah. Berdasarkan kemampuan menggali pesan dakwah dari sumber hukum Islam. Pendakwah dapat diklasifikasi menjadi tiga macam :
1.      Pendakwah Mujtahid
Yaitu pendakwah yang memiliki kemampuan mengali sendiri secara mendalam pesan dakwah dari sumber hukum Islam.

2.      Pendakwah Muttabi’
Yaitu pendakwah yang tidak memiliki kemampuan seperti kelompok pertama. Ia mengambil pesan dakwah dari hasil penafsiran para ulama dengan memeahami dalil-dalil yang mendasarinya serta mematuhi etika dakwah yang telah di tetapkanya.
3.      Pendakwah Muqallid
Yaitu pendakwah yang menyampaikan pesan dakwah tanpa mengetahui dalil-dalil yang mendasarinya, akan tetapi ia sangat yakin akan kebenaranya.6
Kelompok terakhir ini, kita jumpai dalam masyarakat misalnya Ketua RT yang peduli tentang fungsi masyarakat misalnya ketua RT yang peduli tentang fungsi masjid dan ia selalu menganjurkan warganya untuk shalat berjamaah si masjid. Padahal ia tidak tahu satu ayat dan satu hadis pun tentang dasar kewajiban shalat dan keistimewaan pahala shalat berjamaah di masjid. Atau dengan semangat dan keberaniannya dalam nahi munkar,ia mengusir para peminum keras di kampungnya. Padahal ia hanya mendengardari pendakwa yang menjelaskan haramnya minuman keras dalam sebuah acaar peringatan maulid nabi dikampungnya. Pendakwah jenis ini bisa meningkat menjadi pendakwah Muttabi’ jika bersedia menjadi mitra dakwah untuk belajar lebih mendalam tentang ajaran Islam.7



6     Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 144-145
7     Ibid
2.2.1 HUKUM BERDAKWAH
Banyak ayat Al-Qur’an maupun teks hadis Nabi SAW, yang menguraikan tentang dakwah Islam. Diantara ayat-ayat dakwah yang menyatakan kewajiban dakwah secara tegas adalah surat An-Nahl ayat 125, surat Ali Imran ayat 104.
1.      QS. An-Nahl 125:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

2.      Q.S. Ali Imran 104:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

                                                                                                                            
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.


Ayat-ayat di atas secara tegas memerintahkan kita untuk melaksanakan dakwah Islam.Perintah dan kecaman bagi yang meninggalkan dakwah. Kata perintah (fi’il amr) disebut dalam surat An-Nahl ayat 125 dengan kata “Seruhlah” sedangkan dalam surat Ali-Imran ayat 104 kata perintahnya berupa “Dan hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang menyeru....”. Perintah pertama lebih tegas kedua hukumyang hadir, sedangkan subjek hukum dalm perintah kedua tidak hadir. Selain itu, pesan dari perintah pertama lebih jelas, yakni “berdakwahlah”, sedangkan pesan dari perintah kedua hanya “hendaklah ada sekelompok orang yang berdakwah”.
Dalam kaidah Ushul Fiqih disebutkan “Pada dasarnya, perintah itu menunjukan kewajiban (al-ashl fi al-amr li al-wujub). Dengan demikian sangat jelas bahwa perintah berdakwah dalam kedua ayat tersebut adalah perintah wajib. Demikian pula, ancaman laknat Allah menunjukan larangan keras. Kaidah Ushul Fiqih lain yang terkait dengan kaidah di atas berbunyi, “Pada dasarnya, larangan itu menunjukan hukum haram (al-ashl fi al-nahy li al-tahrim). Dalam kaidah lain, melarang sesuatu berarti memerintahkan kebalikanya (al-nahy al-syai’ amr bi al-dliddih). Dengan demikian, kecaman keras Allah bagi orang yang tidak peduli dakwah berarti perintah wajib melaksanakan dakwah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang dibebani kewajiban dakwah. Pangkal perbedaan tersebut terletak pada huruf min dalam surat Ali Imran ayat 104 tersebut. Al Ghazali adalah salah satu ulama yang berpendapat bahwa kewajiban dakwah adalah Fardhu kifayah. Sebagai Fardhu Kifayah, dakwah hanya dibebankan atas orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan di bidang agama Islam. Kata min dalam ayat tersebut di artikan “sebagian’ (li al-tab’idl). Pendapat Al-Ghazali ini diikuti oleh Ahmad Mahmud, M.Quraish Shihab, Ibnu katsir, dan Muhammad Ahmad al-Rasyid. Mahmud berkata, “Menegakan hukum Allah SWT, Jihad fi fisabilillah, Ijtihad, dan amar makruf nahi mungkar misalnya semua termasuk hukum fardhu kifayah yang wajib ditegakann umat Islam keseluruhan”.
Argumentasi rasional (dalil al-aqliy) yang diajukan lebih lanjut adalah bahwa dakwah untuk mengajarkan kebajikan memerlukan pengetahuan tentang kebaikan itu sendiri. Bagaimana mungkin orang yang tidak memahami dan membedakan kebaikan dan keburukan menurut Islam bisa berdakwah. Tentu dakwah dari orang yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam akan justru menyesatkan.8
8     Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 145-147



Berbeda dengan pendapat tersebut adalah pendapat bahwa hukum dakwah adalah fardhu ‘ain yaitu kewajiban bagi setiap muslim tanpa kecuali. Pemahaman ini di dasarkan pada kata min pada kata minkum yang berfungsi sebagai penjelasan (li al-tabyin). Dengan makna ini, kata minkum diartikan “kamu semua” bukan “sebagian dari kamu” sebagaimana pendapat pertama. Pendapat ini secara implisit dikemukakan oleh fakhr al-Din al-Razi juga memperkuat argumentasinya dengan sasaran perintah yang bersifat umum pada surat Ali-Imran ayat 110:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Dari kedua pendapat tentang kewajiban berdakwah di atas ada beberapa ulama yang memadukan keduanya, hukum berdakwah adalah fardhu’ain dan fardhu kifayah. Pendapat ini dipelopori oleh Muhammad Abu Zahran. Menurut Abu Zahran, Fardhu’ain melakukan dakwah secara individual (al-ahad) dan fardhu kifayah melakukan dalam dakwah kolektif (al-jama’at). Setiap orang berkewajiban untuk melakukan dakwah individual. Kendati demikian, di kalangan umat Islam harus ada tenaga ahli yang berkaitan dengan dakwah Islam. Semua kewajiban ini harus ditopang oleh negara. Jadi, negara berkewajiban mendirikan lembaga-lembaga dakwah Islam serta mengkader calon-calon pendakwah.

Para ulama telah menjelaskan, bahwa dakwah itu hukumnya fardhu kifayah jika dilakukan di negara-negara yang ada para dai telah menegakannya. Karena setiap negara atau wilayah membutuhkan dakwah secara kontinu, maka dalam keadaan seperti ini, dakwah menjadi fardhu kifayah, yaitu apabila telah dilakukan oleh sekelompok orang, beban kewajiban itu gugur dari yang lain. Pada saat itu, dakwah bagi yang lain menjadi sunnah muakadah dan merupakan amal sholeh. Tetapi, kalau tidak ada yng melaksanakanya secara sempurna maka dosanya ditanggung oleh seluruh umat. Sebab mereka semua terkena kewajiban ini. Setiapmuslim wajib melaksanakan dakwah menuerut kemampuanya. Kalau dilihat secara umum, maka negara wajib mengarahkan tim secara khusus yang melaksanakan dakwah di seluruh penjuru bumi, untuk menyampaikan risalah Allah dan menjelaskan perintah-Nya dengan cara-cara yang memungkinkan. Rasulullah SAW, telah mengutus para dai dan mengirimkan surat ke raja-raja dan para pemimpin, untuk mengajak mereka memeluk agama Islam.
Oleh sebab itu, para ahli ilmu, ahli iman dan para khalifah Rasulullah SAW, wajib melaksanakan kewajiban ini. Mereka wajib saling menolong menyampaikan risalah Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam menempuh jalan Allah, mereka tidak takut terhadap celaan orang yang mencela dan tidak memihak pada besar atau kecil, tidak pula pada orang kaya atau miskin.
          Dakwah bisa menjadi fardhu ‘ain apabila di suatu tempat tidak ada orang yang melakukanya. Demikian juga dengan amar makhruf dan nahi mungkar bisa menjadi fardhu ‘ain, bisa juga fardhu kifayah. Ketika jumlah para dai masih sedikit, sementara kemungkaran demikian banyak dan kebodohan merajalela seperti keadaan kita saat ini, maka dakwah menjadi fardhu’ain bagi setiap orang, sesuai dengan kemampuanya. Ia bisa juga menjadi fardhu ‘ain bagi orang-orang tertentu dan sunah bagi orang-orang lainya, karena di tempat mereka sudah ada orang yang melakukan tugas tersebut secara memadai.
          Jika demikian, maka dakwah di masa kita sekarang ini menjadi kewajiban syar’i bagi setiap muslim dan muslimah, baik muda maupun tua, Mereka semua wajib menyampaikanya apa yang diketahuinya meskipun hanya satu ayat Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 71 :
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Imam Al-Qurthubi mengatakan di dalam tafsirnya, “Allah telah menjadikan amar makhruf dan nahi mungkar sebagai pembeda antara orang mukmin dan munafik. Dengan demikian, hal itu menunjukan bahwa di antara ciri-ciri yang paling istimewa dari orang-orang yang beriman adalah amar makhruf nahi mungkar.9
9     Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 149-154

2.2.2 FIQH DAKWAH DI ANTARA FIQH LAIN
            Fiqih memuat bahasan hasil pemikiran ajaran Islam yang aplikatif dan hasil pemikiran itu disampaikan kepada masyarakat melalui dakwah. Secara garis besar. Fiqih dikelompokan dalam dua bidang, yaitu ‘ibadah (ritual) dan mu’amalah (sosial).Antara ibadah dan muamalah, terdapat karakteristik yangbmendasar. Ibadah berhubungan dengan Allah SWT. (al-khaliq) dan muamalah dengan selain Allah SWT. (makhluq); nash tentang ibadah lebih terperinci dari pada muamalah; dan ijtihad dalam masalah muamalah lebih besar wilayahnya dari pada masalah ibadah. Lebih terperinci lagi, fiqih dapat diklasifikasikan dalam delapan bidang, yaitu : ibadah murni, mu’amalah, masalah keluarga, tindak pidana, peradilan, pemerintahan, hubungan antarnegara, dan persoalan akhlak.10
            Dalam perkemabangannya, Fiqih telah dikaji secara tematis sehingga muncul istilah-istilah baru yang merujuk pada masalah fiqih, antara lain: Fiqih Kedokteran (terkait masalah medis), Fiqih Wanita (masalah kaum perempuan) Fiqih Keuangan Islam (masalah investasi), Fiqih Permainan dan Hiburan (terkait masalah olahraga dan jenis hiburan), dan Fiqih Dakwah (masalah yang terkait dengan kegiatan dakwah).Perkembangan istilah ini selaras dengan perkembangan masalah yang dikaji Fiqih.
Dalam Fiqih Dakwah, Permasalahannya semakin kompleks ketika diterapkan pada masyarakat modern yg berorientasi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnolgi komunikasi.
Istilah Fiqih Dakwah mengemuka pada abad 20 dengan lahirnya buku pertama yang ditulis oleh Sayyid Quthb. Kitab Fiqh al-Dakwah yang ditulisnya tidak berbeda dengan kitab-kitab dakwah lainya. Kitab ini hanya merupakan inti sari tentang pemikiran dakwah dari kitab tafsir yang ditulisya juga, yaitu fi Zhihal Al-Qur’an . Sebagai tokoh organisasi dakwah al-Ikhwan al muslimun, Sayyid Quthb menekankan pemikiran dakwah dari aspek teologis, pada umumnya memperkuat keyakinan dan memberikan semangat keagamaan.11


10    Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 155
11    Ibid. hlm.57

2.2.3 KAIDAH-KAIDAH DAKWAH
            Sesuatu yang tidak di ragukan lagi adalah, bahwa fiqih dakwah telah menjadi salah satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu yang sah dan diakui (Mu’tabar) yanag memiliki sejumlah prinsip dan kaidah. Setiap dai wajib memperhatikan kaidah-kaidah itu, karena ia menyeru manusia untuk memeluk agama Allah. Tidak cukup seorang dai hanya beribadah saja, karena selain aktif beribadah yang memang menjadi tuntutan, ia juga harus memiliki pemahaman yang mendalam dan kepekaan yang tajam, sehingga ia juga harus memiliki pemahaman yang mendalam dan kepekaan yang tajam, sehingga ia dapat berdakwah atas dasar pengetahuan yang nyata. Karena tanpa memahami selukbeluk dakwah, kemungkinan seorang dai akan membahayakan dan tidak berguna. Atau ia membuat orang semakin menjauh, tidak tertarik, atau bahkan akan memecah belah umat.
   Kaidah fiqih dirumuskan dalam kalimat yang singkat tetapi dengan makna yang padat. Ada kaidah yang didasarkan pada ayat Al-Qur’an dan Sabda Nabi SAW. Ada pula kaidah yang merupakan generalisasi dari berbagai kasus. Kita dapat menjawab persoalan dakwah. Selain itu, kita perlu memerhatikan rumusan kaidah dakwah yang dipakai untuk mengembangkan strategi dakwah. Oleh karena itu, ada dua bentuk kaidah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan dakwah. Pertama, kaidah fiqih untuk Dakwah (al-qawa’id al-fiqhiyyyah li al-da’wah) yang dijadikan sebagai instrumen dalam menetukan hukum yang berkenaan dengan dakwah. Kedua, prinsip-prinsip Dakwah (al-qawa’id li da’wah) yang menjadi strategi, metode, atau tekhnik dalam mencapai dakwah yang efektif. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa ada kaidah Fiqih Dakwah yang juga bisa menjadi strategi dakwah. Kaidah-kaidah Fiqih Dakwah tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Nilai segala sesuatu tergantung pada tujuannya (al-ummur bi ma-qaashidihaa)
2.      Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan (al-yaqiin laa yuzaal bi al-syakk)
3.      Bahaya itu harus di hilangkan (al-dlarar yuzaal)
4.      Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taysiir)
5.      Adat istiadat dapat menjadi hukum (al-aadah muhakkamah)
6.      Apabila halal dan haram berkumpul, maka hukum haram yang harus di dahulukan (idzaa ijtama’a al halaal wa al-haraam ghuliba al-haraam)
7.      Kebijakan seorang pemimpin untuk rakyatnya harus berdasarkan kepentingan bersama (tasharruf al-imaam ‘alaa al-ra’iyyah ma-nuuth bi al-mashlahah)12

12 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 167-169
8.      Keluar dari perbedaan pendapaat para ulama dianjurkan (al-khuruuj min al-khilaaf mustahab)
9.      Mencegah lebih efektif dari pada menidak (al-daf’u aqwaa min al-raf’i)
10.  Rela atas sesuatu berarti rela atas akibat yang yang menyertainya (al-Ridhaa bi al-syai’ ridhan bimaa yatawallad minhu)
11.  Kegiatan yang memiliki manfaat umum lebih utama dari kegiatan yang memiliki manfaat terbatas (al-‘amal al-muta’addy afdlal min al-qaashir)
12.  Hal yang diwajibkan lebih utama dari pada yang dianjurkan (al-fardl afdlal min al-nafl)
13.  Haram menggunakan sesuatu berati haram pula menyimpannya (maa haruma isti’maluhu haruma ittikhadzuhu)
14.  Wilayah khusus lebih kuat dari pada wilayah umum (al-wilaayah al-khaashshah aqwaa min al-wiolayah al-‘aamah)
15.  Sunah lebih luas dari fardhu (al-nafl awsa’min al-fardl)
16.  Sesuatu yang ditolelir karena hanya sebagai perantara tidak bisa ditolelir jika menjadi tujuan utama (yughtafar fii al-wasail maa laa yughtafar fii al-maqaashid)
17.  Yang paling banyak kegiatannya, paling banyak pahalanya (maakaana aktsar fi’lan kaana fadlan)
18.  Sesuatu yang tidak bisa dicapai bisa dicapai seluruhnya tidak dapat ditinggalkan seluruhnya (maa laa yudrok kulluh)
19.  Suatu pertanyaan kembali dalm jawabannya (al-su’aal mu’aad fii al-jawaab)
20.  Pengikut harus mengikuti (al-taabii’ taabi’)
21.  Objek kegiatan tertentu tidak boleh dijadikan objek kegiatan yang lain (al-masyghuul laa yusyghal)
22.  Pada dasarnya, segala sesuatu itu di perbolehkan sepanjan belum ada dalil yang mengharamkanya (al-ashl fii al-saynaa’ al-ibaahah hattaa yakuun al-daliil ‘alaa tahrimiih)
23.  Keringan tidak gugur karena kesulitan (al-masyuur laa yasqith bi al-ma’sur)
24.  Mencegahkerusakan didahulukan dari pada mendatangkan kebaikan (dar’u al-mafassid muqaddam ‘alaa jalb al-mashaalih)13



13 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 169-175
25.  Apabila terpaksa bertemu dua hal yang sama-sama negatif maka dihindari bahaya yang lebih besar dengan melaksankan yang paling ringan bahayanya di antara keduanya (iidzaa ta’aaradla maf-sadataani ru’iyaa’zhamuhuma dlaran birtikaah akhaffhima)
26.  Hukum yang masih diperselisihkan haramnya tidak boleh ditentang, dan hukum yang disepakati haramnya saja yang ditentang (laa yunkar al-mukhtalaf fiih wainnamaa yunkar al-mujma’alaih).14

2.2.4 PRINSIP-PRINSIP DAKWAH DAN YANG LAINNYA
Berikut ini adalah Prinsip-prinsip Dakwah (al-qawa’id li da’wah) yang diambil dari pemikiran Jum’ah Amin ‘Abdul, Aziz. Prinsip-prinsip Dakwah tersebuit dapat dijadikan strategi, metode, atau teknik untuk mencapai dakwah yang efektif.
1.      Memberi keteladanan sebelum berdakwah (al-qudwah qabl al-da’wah)
2.      Mengikat hati sebelum menjelaskan (al-ta’liif qabl al-ta’riif)
3.      Mengenalkan sebelum memberi beban (al-ta’riif qabl al-takliif)
4.      Bertahap dalam pembebanan (al-tadarruj fii al-takliif)
5.      Memudahkan, bukan menytulitkan (al-tasyiir laa al-ta’sir)
6.      Masalah yang pokok sebelum yang kecil (al-ushuul qabl al-furuu’)
7.      Membesarkan hati sebelum memberi ancaman (al-targhiib qabl al-tarhiib)
8.      Memberi pemahaman bukan mendikte (al-tafhiim laa al-talqiin)
9.      Mendidik, bukan menelanjangi (al-tarbiyyah laa al-ta’riyyah)
10.  Muridnya guru, bukan muridnya buku (tilmiidz imaam laa tilmiidz kitaab).15

2.2.4.1 Dakwah yang kita maksudkan
Dakwah yang kita inginkan dan yang wajib bagi kaum muslimin untuk melaksanakannya adalah dakwah yang bertujuan dan berorientasi pada:
1.      Membangun masyarakat Islam, sebagaimana para rasul Allah, yang memulai dakwahnya di kalangan masyarakat jahiliah. Mereka mengajak manusia untuk memeluk agama Allah Swt, menyampaikan wahyunya kepada kaumnya, dan memperingatkan dari syirik.16
14 15   Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 174-175
16 Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah. Solo. hlm 29

2.      Dakwah dengan melakukan perbaikan pada masyarakat Islam yang terkena musibah.
3.      Memelihara kelangsungan dakwah di kalangan masyarakat yang telah berpegang pada kebenaran, melalui pengajaran secara terus-menerus, peringatan, penyucian jiwa, dan pendidikan.

2.2.4.2 Kewajiban yang Shar’i
Dakwah merupakan kewajiban syar’i, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
1.      Firman Allah Swt.
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mengkar;merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran104).
Ayat ini secara jelas menunjukan wajibnya berdakwah, karena ada Lam Amr (Lam yang berarti perintah) dalam kalimat waltakun. Sedangkan kalimat minkum menunjukan fardhu kifayah. Karena itu, seluruh umat islam diperintahkan agar sebagian mereka melaksanakan kewajiban ini.

2.      Allah Swt. berfirman,  
Mengapa orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka dari mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat burukkah apa yang telah mereka kerjakan itu. (Al-Ma’idah:63)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata,”Ali bin Abi Tholib pernah berkhotbah. Setelah beliau memuji allah dan menyanjung-Nya, beliau berkata,’Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kamu itu hancur karena mereka berbuat maksiat, sementara orang alim dan para pendeta tidak melarang mereka dari kemaksiatan itu. Ketika mereka terus-menerus asyik dalam kemaksiatan, mereka ditimpa siksa.17


17       Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah. Solo. hlm 31-32

2.2.4.3 Keutamaan Dakwah
Melalui dakwah yang dilakukan oleh para ulama dan para aktivis untuk memperjuangkan agama ini, maka dengan ijin Allah, umat akan berhasil menggapai kejayaan, keagungan dan kepemimpinan. Hal itu hanya bisa dicapai dengan keikhlasan, keteguhan, kekuatan, keteladan dan kecerdasan mereka.
Siapakah yang lebih baik  perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata,”sesungguhnya aku termasuk oang-orang yang berserah diri.”(Fushilat:33)
Ayat tersebut merupakan peringatan bagi para dai, dan sekaligus sanjungan, bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik perkataannya dari pada mereka, teruma para Rasul, kemudian para pengikutnya, sesuai dengan tingkatan mereka dalam dakwah, ilmu, dan keutamaan.18
2.2.4.4 Karakter Dakwah Kita
Dakwah islamiah memiliki beberapa karakter yang membedakannya dari dakwah-dakwah yang lain. Disini akan kita sebutkan secara ringkas sebagai berikut:
1.      Rabaniyah, artinya bersumber dari wahyu Allah Swt.
2.      Wasathiyah, artinya tengah-tengah atau tawazun (seimbang)
3.      Ijabiyah, artinya positif dalam memandang alam, manusia dan kehidupan.
4.      Waqi’iyah, artinya realistis dalam memperlakukan individu dan masyarakat.
5.      Akhlaqiyah, artinya sarat dengan nilai kebenaran, baik dalam sarana maupun tujuannya.
Dengan demikian, seorang dai harus mengetahui dan memahami metodologi dakwah, agar umat merasa puas dan yakin dengan dakwah kita. Seperti
a.       Penyampaian yang baik
b.      Keindahan unslub
c.       Targhib (memberi rangsangan) dalam kebenaran
d.      Mempergunakan kebijaksanaan dan nasihat yang baik
e.       Bantahan dengan cara yang lebih baik.19
18      Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah. Solo. hlm 42
19      Ibid    hlm 45-47

f.       Mempertimbangkan situasi da kondisi
g.      Penggunaan sarana publikasi dan infosmasi yang paling modern

2.2.4.5 Faktor-Faktor Keberhasilan Dakwah
Diantaranya faktor-faktor pendukung keberhsilan dakwah adalah sebagai berikut:
1.      Pemahaman yang mendalam
2.      Keimanan yang kuat
3.      Kecintaan yang kukuh
4.      Kesadaran yang sempurna
5.      Kerja yang kontinu.20

2.2.4.6  Hal-hal yang berkaitan dengan para Dai
Dakwah dan Dai
Islam bagaimana yang telah kami jelaskan adalah agama dan kedaulatan. Esensi itu tidak diragukan lagi oleh seorang muslim. Emikian juga islam meliputi dakwah sekaligus penyerunya. Dakwah disini adalah menyeru manusia kepada islam yang hanif dengan keutuhan dan keuniversalannya, dengan syi’ar-syi’ar dan syariatnya, dengan akidah dan kemuliaan akhlaknya, dengan metode dakwahnya yang bijaksana dan sarana-sarananya yang unik serta penyampaiannya benar.21

20                  Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah. Solo hlm 52-53
21                  Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah. Solo hlm 64

BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Perkembangan ilmu dakwah mengalami kemajuan pesat pada awal abad ke-20 M. Dimana pertumbuhan ilmu dakwah sudah mulai dikaji sesuai dengan perkembangan dinamika keilmuan. Pada periode ini ilmu dakwah sudah mulai dikaji secara spesialisasi dan pembidangan ilmu, seperti metode dakwah, psikologi dakwah, manajemen dakwah, filsafat dakwah, komunikasi dakwah, sejarah dakwah, komunikasi dakwah, dan lain-lain. Adapun dalam pendekatan kajian dakwah diperlukan pendekatan keilmuan lainnya untuk menunjang keberhasilan dakwah, seperti pendekatan edukatif, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan historis, pendekatan komunikasi, dan lain-lain sesuai dengan situasi dan kondisi sasaran atau objek dakwah.
Istilah fiqh dakwah ditemukan pada abad 20 dengan lahirnya buku pertama yang ditulis oleh said kutub dengan judul Fiqh al Dakwah. Dalam perkembangannya, fiqh telah dikaji secara tematis, sehinga muncul istilah istilah baru yang merujuk pada masalah fiqh antara lain fiqh kedokteran, fiqh wanita dan fiqh dakwah (masalah yang terkait dengan kegiatan dakwah).dan lain- lain.

3.2  SARAN
Dengan selesainya makalah ini, penulis berharap agar pembaca dapat mengambil sedikit hikmah dari kandungan yang ada didalamnya. Setiaip karya pasti indah, namun setiap keindahan itu belum tentu yang terbaaik. Maka penulis mohon maaf bila terdapat kekurangan dalam penulisan ataupun kandung pokok bahasan. Kritik dan saran akan kami terima, guna karya yang lebih baik kedepannya.

  

DAFTAR PUSTAKA


Amin, Samsul, Drs. 2013. Ilmu Dakwah. Jakarta: AMZAH
Ismail, Nawawi. 1975. Filsafat Dakwah. Jakarta: PT BULAN BINTANG
Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah. Solo: ERA INTERMEDIA
Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta : RENCANA PROSADA MEDIA GROUP