BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aktivitas dakwah sebenarnya telah ada sejak
adanya upaya menyampaikan dan mengajak manusia ke jalan Allah, namun kajian
akademik keilmuannya masih tertinggal dibandingkan dengan panjangnya sejarah
dakwah yang ada. Sebagai sebuah realita dakwah merupakan bagian yang senantiasa
ada sebagai aktivitas keagamaan umat Islam. Sementara sebagai kajian keilmuan
pastinya hal ini memerlukan spesifikasi yang berbeda dan persyaratan tertentu.
Dewasa ini terdapat fenomena yang kemudian
menempatkan kesadaran umat bahwa dakwah sebagai suatu aktivitas keagamaan
memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk kecenderungan masyarakat. Hal ini
sekaligus menumbuhkan secara jelas dan tegas sehingga ilmu ini dapat memberikan
inspirasi yang baik bagi kecenderungan masyarakat.
Maraknya dakwah, ternyata belum mampu menahan
masuknya beberapa ajaran atau pemahaman yang tidak relevan dengan nilai-nilai
ajaran agama secara hedonistik, materialistik, dan sekuleristik. Hal inilah
yang menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami dan menghayati pesan simbolis
keagamaan. Sehingga ritualitas perilaku kesalehan beragama dalam masyarakat
tidak menerangkan tentang perilaku keagamaan yang sesungguhnya dimana
nilai-nilai keagamaan menjadi pertimbangan berpikir maupun bertindak oleh
individu maupun sosial.
Ilmu dakwah mengalami proses perkembangan yang
positif sehingga semakin hari semakin estabilished sehingga semakin
waktu mendapat sambutan dan pengakuan dari masyarakat mengenai eksistensinya.
1.2 Rumusan masalah
1. Memahami Sejarah dan
Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah
2. Mengetahui beberapa hal yang dimuat dalam Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah
1.3 Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang akan dibahas tidak terlalu meluas, penulis batasi masalah yang akan dibahas yaitu Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah
Agar permasalahan yang akan dibahas tidak terlalu meluas, penulis batasi masalah yang akan dibahas yaitu Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah
1.4
Tujuan
- Untuk
mengetahui tentang Sejarah dan Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah
- Untuk
mengetahui pentingnya Sejarah dan
Pengembangan Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah untuk diterapkan dalam aktivitas
kehidupan bermasyarakat
1.5 Metode dan Teknik Pengumpulan
Data
.... Untuk
memperoleh data dalam penelitian ini, penyusun menggunakan studi Perpustakaan pencarian
di buku-buku mengenai Ilmu Dakwah dan Fiqh Dakwah
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah dan
Perkembangan Ilmu Dakwah
Pengembangan (developing) merupakan
salah satu perilaku manajerial yang meliputi pelatihan (couching) yang
digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan seseorang dan
memudahkan penyesuaian terhadap pekerjaannya dan kemajuan karirnya. Proses
pengembangan ini didasarkan atas usaha untuk mengembangkan sebuah kesadaran,
kemauan, keahlian, serta keterampilan para elemen dakwah agar proses dakwah
berjalan secara efektif dan efisien. Pengembangan dan pembaharuan adalah dua
hal yang sangat diperlukan. Rasulullah SAW. Mendorong umatnya supaya selalu
meningkatkan kualitas, cara kerja dan sarana hidup, serta memaksimalkan potensi
sumber daya alam semaksimal mungkin. Karna Allah telah meciptakan alam semesta
ini untuk memenuhi hajt hidup manusia.
Keilmuan dalam ilmu Islam telah
berkembang dengan mantap dan pasti. Dimana Nabi muhammad sebagai tokoh penyebar
agama Islam telah memberikan penegasan tentang fungsi dan peranan ilmu dalam
Islam Sabda Nabi antara lain:
Menuntut ilmu itu
wajib bagi setiap muslim dan muslimah. (HR.Ibnu Majah)
Ilmu-ilmu Islam baru muncul pada
masa-masa awal dari dinasti Abbasiyah (133-766 H/750-1258 M), setelah kaum
muslimin dapat menciptakan stabilitas keamanan di seluruh wilayah Islam. Di
sisi lain kaum muslimin yang tingkat kehidupannya memang semakin baik, tidak
lagi berorientasi untuk memperluas wilayah melainkan berupaya untuk membangun
suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka munculah berbagai
kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini yang terdiri dari
tiga bentuk , yakni
1.
Penyusunan buku-buku
2.
Perumusan ilmu-ilmu islam
3.
Buku berbahasa asing ke dalam bahasa
Arab1
1
Amin, Samsul, Drs. 2013. Ilmu Dakwah. Jakarta. hlm. 38-39
Aktivitas dakwah sesungguhnya telah
dilakukan oleh Nabi Muhammad, dan dilanjutkan oleh para penerusnya dan
ulama-ulama serta tokoh-tokoh Islam sampai sekarang. Berkembangnya agama Islam
sejak pada Nabi sampai sekarang di seluruh penjuru dunia tidak lain karena
adanya aktivitas dakwah. Hanya saja kajian mengenai dakwah sebagai suatu ilmu
yang berdiri sendiri baru dilakukan kemudian oleh umat Islam. Kajian ilmu
dakwah sebenarnya sudah dimulai sejak abad 10 M, oleh Ibnu Nubathah (946-984 M).
Sayang karya Ibnu Nubathah ini sampai sekarang belum jelas diketahui. Kajian
ilmu dakwah terus berkembang dengan pesat, setelah periode pembaharuan atau
modernisasi Islam pada abad 19 M di Arabia, Mesir dan India.
Pada masa ini Ilmu dakwah telah tumbuh
sebagai ilmu yang banyak mendapat perhatian dikalangan ulama, kerena keberadaan
dakwah Islam sebagai kegiatan penyebaran agama Islam amat dibutuhkan dengan
berbagai pendekatan dan teori sehingga memudahkan para juru dakwah melakukan
kegiatan dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Untuk mengembangkan
ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat luas, diperlukan suatu metode tersendiri
agar pesan-pesan Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat sebagai
objek dakwah. Dalam hal ini kajian mengenai dakwah sebagi suatu ilmu mendapat
perhatian yang cukup besar dari para pemikir Islam. Jika pada masa pertumbuhan
pembahasan mengenai dakwah hanya berkisar dalam pembahasan al-amar bi al-ma’ruf an-nahnu an al-munkar maka pada masa
berikutnya pembahasan ilmu dakwah berkembang lebih luas, akan tetapi sudah
menjurus kepada pembahasan di sekitar unsur-unsur dakwah: mengenai subjek
dakwah (Da’i). Metode Dakwah (Kaifiyyah
Ad-Da’wah), Media dakwah (Wasilah
Ad-Da’wah), materi dakwah (Maddah
Ad-Da’wah), dan objek dakwah (Mad’u).
Kajian dan pembahasan ilmu dakwah
kemudian berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan dan dinamika zaman.
Pembahasan mengenai Ilmu dakwah pertama kali diajarkan di lingkungan akademik,
dirintis oleh Syaikh Ali Mahfudz (1880-1942 M) salah seorang ulama terkenal dan
murid Syaikh Muhamad Abduh di Universitas Al-Azhar di mesir.2
2 Amin, Samsul, Drs. 2013.
Ilmu Dakwah. Jakarta. hlm.44-45
Secara akademisi, kajian mengenai Ilmu
dakwah di Indonesia telah dimulai sejak 1950, sejak adanya Perguruan Tinggi
Agama Islam. kemudian dilanjutkan dengan dibukanya jurusan Dakwah pada Fakultas
Ushuludin PTAIN (IAIN) pada tahun 1960. Dan mulai tahun 1970 jurusan Dakwah
berubah menjadi Fakultas Dakwah, dengan jurusan Penerangan dan Penyiaran Agama
islam. Kemudian, pada tahun 1995 Fakultas Dakwah membuka jurusan-jurusan baru
sebagai pengembangan jurusan Dakwah, yaitu jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam (KPI), jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), dan Jurusan Manajemen
Dakwah (MD).3
Setelah menjadi sebuah fakultas
tersendiri, Ilmu dakwah dikembangkan secara secara lebih leluasa hingga saat
ini. Pihak Departemen Agama juga ikut membantu pengembangan Fakultas Dakwah
melalui beberapa Keputusan Menteri Agama yang terkait dengan keilmuan IAIN,
antara lain sebagai berikut.
1. Surat
Keputusan Menteri Agama H.Alamsjah Ratu Perwiranegara Nomor 97 Tahun 1982
tentang Pelaksaan Kurikulum dan Sylabus IAIN Tahun 1982 tertanggal 2 Oktober
1982. Dalam SK Menteri Agama ini Fakultas Dakwah telah dikembangkan menjadi dua
jurusan, yaitu Jurusan Penerangan dan Penyiaran Agama Islam(PPAI) dan Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Masyarakat (BPM).
2. Surat
Kepusan Menteri Agama H.Alamsjah Ratu Perwiranegara Nomor 110 Tahun 1982 tentang
Penetapan Penetapan Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam Lingkungan Perguruan
Tinggi Agama Islam tertanggal 2 Oktober 1982. Dalam SK Menteri Agama ini, Ilmu
Dakwah menjadi sub disiplin dari disiplin Dakwah dalam bidang Dakwah Islamiyah.
3. Surat
Keputusan Menteri Agama (Menag) H.Munawir Sjadzali Nomor 122 Tahun 1988 tentang
Pelaksanaan Kurikulum S1 IAIN tertanggal 27 Juli 1988. Dalam SK Menag ini, Ilmu
Dakwah dipilih menjadi dua bagian yaitu Ilmu Dakwah Pengantar dan Ilmu Dakwah
Metodologi.
4. Surat
Keputusan Menteri Agama H. Tarmizi Taher Nomor 27 Tahun 1995 tentang Kurikulum
Nasional Program Sarjana (S1) IAIN tertanggal 18 Januari 1995. Dalam SK. Menag
ini, Fakultas Dakwah mengembangkan dau jurusan lagi, sehingga Fakultas Dakwah
memiliki empat jurusan, yaitu Komunikasi
3 Amin,
Samsul, Drs. 2013. Ilmu Dakwah. Jakarta. hlm 44-45
dan Penyiar Islam
(KPI), Bimbingan dan Penyulan Islam (BPI), Manajemen Dakwah (MD), dan
Pengembangan masyarakat Islam (PMI).
5. Surat
Keputusan Menteri Agama H. Tarmizi Taher Nomor 383 Tahun 1997 tentang Kurikulum
Nasional Program Sarjana (S1) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang
disempurnakan dan Kurikulum Nasional Program Sarjana (S1) Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) tertanggal 30 Juni 1997. Dalam SK menag ini, Ilmu Dakwah
tidak lagi sebagai pengantar serta tidak berada dalam mata kuliah komponen
fakultas namun dimasukan dalam komponen jurusan.4
Pada tahun 1960-an, terjadi perkembangan
baru dalam pemikiran tentang dakwah, dimana dakwah sudah tidak dipahami secara
mikro (sempit) dan terbatas. Pada tahun 1960-an juga, muncul suatu kelompok
pemikir dakwah yang bergabung dalam Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) di
Jakarta yang diprakarsai oleh Brigjen Sudirman, Shalahuddin Sanusi, Sujoko
Prasojo, Wijisaksono, Brigjen M.Sarbini dan lain-lain.
Secara garis besar, tahap-tahap
perkembangan Ilmu Dakwah terbagi dalam tiga tahapan. Pertama, Tahap Konvensional. Pada tahap ini dakwah masih merupakan kegiatan
keagamaan berupa seruan atau ajakan untuk menganut dan mengamalkan ajaran Islam
yang dilakukan secara konvensional. Artinya, dalam pelaksanaannya, dakwah belum
berdasar kepada metode-metode ilmiah, tetapi berdasarkan pengalaman orang
perorang. Oleh karena itu, tahap ini juga disebut dengan tahap tradisional.
Kedua,
tahap
sistematis. Tahap ini merupakan tahap pertengahan antara tahap konvensional dan
tahap berikutnya, yaitu tahap ilmiah. Pada tahap ini, dakwah yang ada dalam
tahap konvensional diatas sudah mulai dibicarakan secara khusus oleh beberapa
kalangan,sehingga muncul beberapa literatur yang secara khusus membahas dakwah.
Ketiga,
tahap
ilmiah. Pada tahap ini, dakwah telah berhasil tersusun sebagai ilmu
pengetahuan. Dari tahapan-tahapan diatas, kita harus membedakan pemikiran
dakwah sebagai kegiatan dan dakwah sebagai ilmu.
Berkembangnya Islam sampai saat ini,
tidak dapat dipungkiri bahwa itu semua berkat adanya aktivitas dakwah Islamiyah
yang dilakukan oleh para juru dakwah dan para
4 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen
Dakwah. Jakarta
ulama
yang dengan semangat dan keikhlasannya mengembangkan agama Islam kepada mereka
yang belum memeluk agama Islam.
Menyiarkan suatu agama harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya sehingga kegiatan dakwah untuk menyiarkan agama tersebut dapt
diterima dan dipeluk oleh umat manusia dengan kemauan dan kesadaran hatinya,
bukan dengan paksaan dan ikut-ikutan saja. Suatu agama tak akan tegak tanpa
adanya dakwah, suatu ideologi atau aliran tidak akan tersebar dan tersiar tanpa
adanya kegiatan untu menyiarkannya.
Sejarah memberikan pelajaran kepada kita
bahwa setiap kelompok yang menyeru atau mengajak orang kepada suatu paham
niscaya ada pengikutnya, walaupun paham itu tidak benar atau bathil. Aliran
atau paham yang bahtil dapat berkembang dengan penyiaran yang terus menerus,
sebaliknya paham yang benar atau ideologi yang hak akan lenyap karena
meninggalkan upaya penyiaran dan dakwah.
2.2 FIQH DAKWAH
Pesan
dakwah harus berisi kebenaran semata. Persoalan kebenaran telah lama menjadi
polemik antara kaum teolog, filsuf, bahkan para ilmuwan. Dalam Islam, kita
mengenal kebenaran hakiki dan kebenaran relatif. Wahyu yang berasal dari Allah
SWT, adalah satu-satunya kebenaran hakiki. Selanjutnya kita menyebutnya dengan
kebenaran wahyu. Lainya adalah kebenaran relatif atau nisbi yang lahir dari
akal manusia. Selanjutnya kita istilahkan dengan kebenaran akal.
Setiap
muslim harus mengimani pada kebenaran wahyu, mendakwahkan kepada orang dan
menjalankanya dalam kehiduapan sehari-hari. Kebenaran wahyu tidak dapat
diganggu gugat, Ada kebenaran wahyu yang dapat dijangkau oleh akal dan ada pula
yang di luar jangkauan. Kebenaran wahyu harus diletakkan pada posisi yang
pertama dan
utama,
karena apa pun yang di yakini kebenaranya oleh manusian harus diukur denagn
kebenaran wahyu. Kebenaran wahyu termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah.
Seluruh
ayat Al-Qur’an dan teks hadis adalah pesan dakwah di samping itu, beberapa pola
dakwah juga banyak di jelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis-hadis
Nabi SAW. Contoh dakwah para nabi juga di tampilkan dengan jelas. Begitu pula,
gambaran Nabi SAW melakukan dakwah Islam ditampilkan dalam hadis. 5
5 Munir, Muhammad.
2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 138-139
Dalam
berdakwah, pendakwah tidak boleh meninggalkan akal pikiran, Akal digunakan
untuk menafsirkan kebenaran wahyu yang kemudian diolah sebagai pesan dakwah.
Akal juga dimanfaatkan untuk menjaga etika dakwah dengan menggali hukum yang
berkenaan dengan masalah dakwah. Berdasarkan kemampuan menggali pesan dakwah
dari sumber hukum Islam. Pendakwah dapat diklasifikasi menjadi tiga macam :
1. Pendakwah
Mujtahid
Yaitu pendakwah yang
memiliki kemampuan mengali sendiri secara mendalam pesan dakwah dari sumber
hukum Islam.
2. Pendakwah
Muttabi’
Yaitu
pendakwah yang tidak memiliki kemampuan seperti kelompok pertama. Ia mengambil
pesan dakwah dari hasil penafsiran para ulama dengan memeahami dalil-dalil yang
mendasarinya serta mematuhi etika dakwah yang telah di tetapkanya.
3. Pendakwah
Muqallid
Yaitu pendakwah yang menyampaikan
pesan dakwah tanpa mengetahui dalil-dalil yang mendasarinya, akan tetapi ia
sangat yakin akan kebenaranya.6
Kelompok
terakhir ini, kita jumpai dalam masyarakat misalnya Ketua RT yang peduli
tentang fungsi masyarakat misalnya ketua RT yang peduli tentang fungsi masjid
dan ia selalu menganjurkan warganya untuk shalat berjamaah si masjid. Padahal
ia tidak tahu satu ayat dan satu hadis pun tentang dasar kewajiban shalat dan
keistimewaan pahala shalat berjamaah di masjid. Atau dengan semangat dan
keberaniannya dalam nahi munkar,ia
mengusir para peminum keras di kampungnya. Padahal ia hanya mendengardari
pendakwa yang menjelaskan haramnya minuman keras dalam sebuah acaar peringatan
maulid nabi dikampungnya. Pendakwah jenis ini bisa meningkat menjadi pendakwah
Muttabi’ jika bersedia menjadi mitra dakwah untuk belajar lebih mendalam
tentang ajaran Islam.7
6 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah.
Jakarta. hlm 144-145
7 Ibid
2.2.1 HUKUM BERDAKWAH
Banyak
ayat Al-Qur’an maupun teks hadis Nabi SAW, yang menguraikan tentang dakwah
Islam. Diantara ayat-ayat dakwah yang menyatakan kewajiban dakwah secara tegas
adalah surat An-Nahl ayat 125, surat Ali Imran ayat 104.
1. QS.
An-Nahl 125:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
2. Q.S.
Ali Imran 104:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang
yang beruntung.
Ayat-ayat di atas
secara tegas memerintahkan kita untuk melaksanakan dakwah Islam.Perintah dan
kecaman bagi yang meninggalkan dakwah. Kata perintah (fi’il amr) disebut dalam surat An-Nahl ayat 125 dengan kata “Seruhlah”
sedangkan dalam surat Ali-Imran ayat 104 kata perintahnya berupa “Dan hendaklah
ada di antara kamu sekelompok orang menyeru....”. Perintah pertama lebih tegas
kedua hukumyang hadir, sedangkan subjek hukum dalm perintah kedua tidak hadir.
Selain itu, pesan dari perintah pertama lebih jelas, yakni “berdakwahlah”,
sedangkan pesan dari perintah kedua hanya “hendaklah ada sekelompok orang yang
berdakwah”.
Dalam
kaidah Ushul Fiqih disebutkan “Pada dasarnya, perintah itu menunjukan kewajiban
(al-ashl fi al-amr li al-wujub).
Dengan demikian sangat jelas bahwa perintah berdakwah dalam kedua ayat tersebut
adalah perintah wajib. Demikian pula, ancaman laknat Allah menunjukan larangan
keras. Kaidah Ushul Fiqih lain yang terkait dengan kaidah di atas berbunyi,
“Pada dasarnya, larangan itu menunjukan hukum haram (al-ashl fi al-nahy li al-tahrim). Dalam kaidah lain, melarang
sesuatu berarti memerintahkan kebalikanya (al-nahy
al-syai’ amr bi al-dliddih). Dengan demikian, kecaman keras Allah bagi
orang yang tidak peduli dakwah berarti perintah wajib melaksanakan dakwah.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai orang yang dibebani kewajiban dakwah. Pangkal
perbedaan tersebut terletak pada huruf min
dalam surat Ali Imran ayat 104 tersebut. Al Ghazali adalah salah satu ulama
yang berpendapat bahwa kewajiban dakwah adalah Fardhu kifayah. Sebagai Fardhu Kifayah, dakwah hanya dibebankan
atas orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan di bidang agama Islam.
Kata min dalam ayat tersebut di
artikan “sebagian’ (li al-tab’idl). Pendapat
Al-Ghazali ini diikuti oleh Ahmad Mahmud, M.Quraish Shihab, Ibnu katsir, dan
Muhammad Ahmad al-Rasyid. Mahmud berkata, “Menegakan hukum Allah SWT, Jihad fi fisabilillah, Ijtihad, dan amar makruf nahi mungkar misalnya semua
termasuk hukum fardhu kifayah yang wajib ditegakann umat Islam keseluruhan”.
Argumentasi
rasional (dalil al-aqliy) yang
diajukan lebih lanjut adalah bahwa dakwah untuk mengajarkan kebajikan
memerlukan pengetahuan tentang kebaikan itu sendiri. Bagaimana mungkin orang
yang tidak memahami dan membedakan kebaikan dan keburukan menurut Islam bisa
berdakwah. Tentu dakwah dari orang yang tidak memiliki pengetahuan mendalam
tentang Islam akan justru menyesatkan.8
8 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah.
Jakarta. hlm 145-147
Berbeda dengan pendapat
tersebut adalah pendapat bahwa hukum dakwah adalah fardhu ‘ain yaitu kewajiban bagi setiap muslim tanpa kecuali.
Pemahaman ini di dasarkan pada kata min
pada kata minkum yang berfungsi
sebagai penjelasan (li al-tabyin).
Dengan makna ini, kata minkum diartikan “kamu semua” bukan “sebagian dari kamu”
sebagaimana pendapat pertama. Pendapat ini secara implisit dikemukakan oleh
fakhr al-Din al-Razi juga memperkuat argumentasinya dengan sasaran perintah
yang bersifat umum pada surat Ali-Imran ayat 110:
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari kedua pendapat
tentang kewajiban berdakwah di atas ada beberapa ulama yang memadukan keduanya,
hukum berdakwah adalah fardhu’ain dan
fardhu kifayah. Pendapat ini
dipelopori oleh Muhammad Abu Zahran. Menurut Abu Zahran, Fardhu’ain melakukan dakwah secara individual (al-ahad) dan fardhu kifayah
melakukan dalam dakwah kolektif (al-jama’at).
Setiap orang berkewajiban untuk melakukan dakwah individual. Kendati demikian,
di kalangan umat Islam harus ada tenaga ahli yang berkaitan dengan dakwah
Islam. Semua kewajiban ini harus ditopang oleh negara. Jadi, negara
berkewajiban mendirikan lembaga-lembaga dakwah Islam serta mengkader
calon-calon pendakwah.
Para ulama telah
menjelaskan, bahwa dakwah itu hukumnya fardhu
kifayah jika dilakukan di negara-negara yang ada para dai telah
menegakannya. Karena setiap negara atau wilayah membutuhkan dakwah secara
kontinu, maka dalam keadaan seperti ini, dakwah menjadi fardhu kifayah, yaitu apabila telah dilakukan oleh sekelompok
orang, beban kewajiban itu gugur dari yang lain. Pada saat itu, dakwah bagi
yang lain menjadi sunnah muakadah dan
merupakan amal sholeh. Tetapi, kalau tidak ada yng melaksanakanya secara
sempurna maka dosanya ditanggung oleh seluruh umat. Sebab mereka semua terkena
kewajiban ini. Setiapmuslim wajib melaksanakan dakwah menuerut kemampuanya.
Kalau dilihat secara umum, maka negara wajib mengarahkan tim secara khusus yang
melaksanakan dakwah di seluruh penjuru bumi, untuk menyampaikan risalah Allah
dan menjelaskan perintah-Nya dengan cara-cara yang memungkinkan. Rasulullah
SAW, telah mengutus para dai dan mengirimkan surat ke raja-raja dan para
pemimpin, untuk mengajak mereka memeluk agama Islam.
Oleh
sebab itu, para ahli ilmu, ahli iman dan para khalifah Rasulullah SAW, wajib
melaksanakan kewajiban ini. Mereka wajib saling menolong menyampaikan risalah
Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam menempuh jalan Allah, mereka tidak takut
terhadap celaan orang yang mencela dan tidak memihak pada besar atau kecil,
tidak pula pada orang kaya atau miskin.
Dakwah bisa menjadi fardhu
‘ain apabila di suatu tempat tidak ada orang yang melakukanya. Demikian
juga dengan amar makhruf dan nahi mungkar
bisa menjadi fardhu ‘ain, bisa
juga fardhu kifayah. Ketika jumlah para dai masih sedikit, sementara
kemungkaran demikian banyak dan kebodohan merajalela seperti keadaan kita saat
ini, maka dakwah menjadi fardhu’ain
bagi setiap orang, sesuai dengan kemampuanya. Ia bisa juga menjadi fardhu ‘ain bagi orang-orang tertentu
dan sunah bagi orang-orang lainya, karena di tempat mereka sudah ada orang yang
melakukan tugas tersebut secara memadai.
Jika demikian, maka dakwah di masa kita sekarang ini
menjadi kewajiban syar’i bagi setiap muslim dan muslimah, baik muda maupun tua,
Mereka semua wajib menyampaikanya apa yang diketahuinya meskipun hanya satu
ayat Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 71 :
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Imam Al-Qurthubi
mengatakan di dalam tafsirnya, “Allah telah menjadikan amar makhruf dan nahi
mungkar sebagai pembeda antara orang mukmin dan munafik. Dengan demikian, hal
itu menunjukan bahwa di antara ciri-ciri yang paling istimewa dari orang-orang
yang beriman adalah amar makhruf nahi mungkar.9
9 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah.
Jakarta. hlm 149-154
2.2.2 FIQH DAKWAH DI ANTARA FIQH
LAIN
Fiqih memuat bahasan hasil pemikiran
ajaran Islam yang aplikatif dan hasil pemikiran itu disampaikan kepada
masyarakat melalui dakwah. Secara garis besar. Fiqih dikelompokan dalam dua
bidang, yaitu ‘ibadah (ritual) dan mu’amalah (sosial).Antara ibadah dan
muamalah, terdapat karakteristik yangbmendasar. Ibadah berhubungan dengan Allah
SWT. (al-khaliq) dan muamalah dengan
selain Allah SWT. (makhluq); nash
tentang ibadah lebih terperinci dari pada muamalah; dan ijtihad dalam masalah
muamalah lebih besar wilayahnya dari pada masalah ibadah. Lebih terperinci lagi,
fiqih dapat diklasifikasikan dalam delapan bidang, yaitu : ibadah murni,
mu’amalah, masalah keluarga, tindak pidana, peradilan, pemerintahan, hubungan
antarnegara, dan persoalan akhlak.10
Dalam perkemabangannya, Fiqih telah
dikaji secara tematis sehingga muncul istilah-istilah baru yang merujuk pada
masalah fiqih, antara lain: Fiqih Kedokteran (terkait masalah medis), Fiqih
Wanita (masalah kaum perempuan) Fiqih Keuangan Islam (masalah investasi), Fiqih
Permainan dan Hiburan (terkait masalah olahraga dan jenis hiburan), dan Fiqih
Dakwah (masalah yang terkait dengan kegiatan dakwah).Perkembangan istilah ini
selaras dengan perkembangan masalah yang dikaji Fiqih.
Dalam
Fiqih Dakwah, Permasalahannya semakin kompleks ketika diterapkan pada
masyarakat modern yg berorientasi pada kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnolgi
komunikasi.
Istilah
Fiqih Dakwah mengemuka pada abad 20 dengan lahirnya buku pertama yang ditulis
oleh Sayyid Quthb. Kitab Fiqh al-Dakwah yang ditulisnya tidak berbeda
dengan kitab-kitab dakwah lainya. Kitab ini hanya merupakan inti sari tentang
pemikiran dakwah dari kitab tafsir yang ditulisya juga, yaitu fi Zhihal Al-Qur’an . Sebagai tokoh
organisasi dakwah al-Ikhwan al muslimun, Sayyid Quthb menekankan pemikiran
dakwah dari aspek teologis, pada umumnya memperkuat keyakinan dan memberikan
semangat keagamaan.11
10 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah.
Jakarta. hlm 155
11 Ibid. hlm.57
2.2.3
KAIDAH-KAIDAH DAKWAH
Sesuatu yang tidak di ragukan lagi
adalah, bahwa fiqih dakwah telah menjadi salah satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu
yang sah dan diakui (Mu’tabar) yanag
memiliki sejumlah prinsip dan kaidah. Setiap dai wajib memperhatikan
kaidah-kaidah itu, karena ia menyeru manusia untuk memeluk agama Allah. Tidak
cukup seorang dai hanya beribadah saja, karena selain aktif beribadah yang
memang menjadi tuntutan, ia juga harus memiliki pemahaman yang mendalam dan
kepekaan yang tajam, sehingga ia juga harus memiliki pemahaman yang mendalam
dan kepekaan yang tajam, sehingga ia dapat berdakwah atas dasar pengetahuan
yang nyata. Karena tanpa memahami selukbeluk dakwah, kemungkinan seorang dai
akan membahayakan dan tidak berguna. Atau ia membuat orang semakin menjauh,
tidak tertarik, atau bahkan akan memecah belah umat.
Kaidah fiqih dirumuskan dalam kalimat yang
singkat tetapi dengan makna yang padat. Ada kaidah yang didasarkan pada ayat
Al-Qur’an dan Sabda Nabi SAW. Ada pula kaidah yang merupakan generalisasi dari
berbagai kasus. Kita dapat menjawab persoalan dakwah. Selain itu, kita perlu
memerhatikan rumusan kaidah dakwah yang dipakai untuk mengembangkan strategi
dakwah. Oleh karena itu, ada dua bentuk kaidah yang dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan dakwah. Pertama, kaidah fiqih untuk Dakwah (al-qawa’id al-fiqhiyyyah
li al-da’wah) yang dijadikan sebagai instrumen dalam menetukan hukum yang
berkenaan dengan dakwah. Kedua, prinsip-prinsip Dakwah (al-qawa’id li da’wah)
yang menjadi strategi, metode, atau tekhnik dalam mencapai dakwah yang efektif.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa ada kaidah Fiqih Dakwah yang
juga bisa menjadi strategi dakwah. Kaidah-kaidah Fiqih Dakwah tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Nilai
segala sesuatu tergantung pada tujuannya (al-ummur bi ma-qaashidihaa)
2. Keyakinan
tidak dapat dihilangkan dengan keraguan (al-yaqiin laa yuzaal bi al-syakk)
3. Bahaya
itu harus di hilangkan (al-dlarar yuzaal)
4. Kesulitan
dapat mendatangkan kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taysiir)
5. Adat
istiadat dapat menjadi hukum (al-aadah muhakkamah)
6. Apabila
halal dan haram berkumpul, maka hukum haram yang harus di dahulukan (idzaa
ijtama’a al halaal wa al-haraam ghuliba al-haraam)
7. Kebijakan
seorang pemimpin untuk rakyatnya harus berdasarkan kepentingan bersama
(tasharruf al-imaam ‘alaa al-ra’iyyah ma-nuuth bi al-mashlahah)12
12 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah.
Jakarta. hlm 167-169
8. Keluar
dari perbedaan pendapaat para ulama dianjurkan (al-khuruuj min al-khilaaf
mustahab)
9. Mencegah
lebih efektif dari pada menidak (al-daf’u aqwaa min al-raf’i)
10. Rela
atas sesuatu berarti rela atas akibat yang yang menyertainya (al-Ridhaa bi
al-syai’ ridhan bimaa yatawallad minhu)
11. Kegiatan
yang memiliki manfaat umum lebih utama dari kegiatan yang memiliki manfaat
terbatas (al-‘amal al-muta’addy afdlal min al-qaashir)
12. Hal
yang diwajibkan lebih utama dari pada yang dianjurkan (al-fardl afdlal min
al-nafl)
13. Haram
menggunakan sesuatu berati haram pula menyimpannya (maa haruma isti’maluhu
haruma ittikhadzuhu)
14. Wilayah
khusus lebih kuat dari pada wilayah umum (al-wilaayah al-khaashshah aqwaa min
al-wiolayah al-‘aamah)
15. Sunah
lebih luas dari fardhu (al-nafl awsa’min al-fardl)
16. Sesuatu
yang ditolelir karena hanya sebagai perantara tidak bisa ditolelir jika menjadi
tujuan utama (yughtafar fii al-wasail maa laa yughtafar fii al-maqaashid)
17. Yang
paling banyak kegiatannya, paling banyak pahalanya (maakaana aktsar fi’lan
kaana fadlan)
18. Sesuatu
yang tidak bisa dicapai bisa dicapai seluruhnya tidak dapat ditinggalkan
seluruhnya (maa laa yudrok kulluh)
19. Suatu
pertanyaan kembali dalm jawabannya (al-su’aal mu’aad fii al-jawaab)
20. Pengikut
harus mengikuti (al-taabii’ taabi’)
21. Objek
kegiatan tertentu tidak boleh dijadikan objek kegiatan yang lain (al-masyghuul
laa yusyghal)
22. Pada
dasarnya, segala sesuatu itu di perbolehkan sepanjan belum ada dalil yang
mengharamkanya (al-ashl fii al-saynaa’ al-ibaahah hattaa yakuun al-daliil ‘alaa
tahrimiih)
23. Keringan
tidak gugur karena kesulitan (al-masyuur laa yasqith bi al-ma’sur)
24. Mencegahkerusakan
didahulukan dari pada mendatangkan kebaikan (dar’u al-mafassid muqaddam ‘alaa
jalb al-mashaalih)13
13 Munir, Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah.
Jakarta. hlm 169-175
25. Apabila
terpaksa bertemu dua hal yang sama-sama negatif maka dihindari bahaya yang
lebih besar dengan melaksankan yang paling ringan bahayanya di antara keduanya
(iidzaa ta’aaradla maf-sadataani ru’iyaa’zhamuhuma dlaran birtikaah akhaffhima)
26. Hukum
yang masih diperselisihkan haramnya tidak boleh ditentang, dan hukum yang
disepakati haramnya saja yang ditentang (laa yunkar al-mukhtalaf fiih wainnamaa
yunkar al-mujma’alaih).14
2.2.4 PRINSIP-PRINSIP DAKWAH DAN YANG
LAINNYA
Berikut ini adalah Prinsip-prinsip
Dakwah (al-qawa’id li da’wah) yang diambil dari pemikiran Jum’ah Amin ‘Abdul,
Aziz. Prinsip-prinsip Dakwah tersebuit dapat dijadikan strategi, metode, atau
teknik untuk mencapai dakwah yang efektif.
1. Memberi
keteladanan sebelum berdakwah (al-qudwah qabl al-da’wah)
2. Mengikat
hati sebelum menjelaskan (al-ta’liif qabl al-ta’riif)
3. Mengenalkan
sebelum memberi beban (al-ta’riif qabl al-takliif)
4. Bertahap
dalam pembebanan (al-tadarruj fii al-takliif)
5. Memudahkan,
bukan menytulitkan (al-tasyiir laa al-ta’sir)
6. Masalah
yang pokok sebelum yang kecil (al-ushuul qabl al-furuu’)
7. Membesarkan
hati sebelum memberi ancaman (al-targhiib qabl al-tarhiib)
8. Memberi
pemahaman bukan mendikte (al-tafhiim laa al-talqiin)
9. Mendidik,
bukan menelanjangi (al-tarbiyyah laa al-ta’riyyah)
10. Muridnya
guru, bukan muridnya buku (tilmiidz imaam laa tilmiidz kitaab).15
2.2.4.1
Dakwah yang kita maksudkan
Dakwah yang kita inginkan dan yang wajib bagi kaum
muslimin untuk melaksanakannya adalah dakwah yang bertujuan dan berorientasi
pada:
1. Membangun
masyarakat Islam, sebagaimana para rasul Allah, yang memulai dakwahnya di
kalangan masyarakat jahiliah. Mereka mengajak manusia untuk memeluk agama Allah
Swt, menyampaikan wahyunya kepada kaumnya, dan memperingatkan dari syirik.16
14 15 Munir,
Muhammad. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta. hlm 174-175
16 Aziz Jum’ah.
2005. Fiqh Dakwah. Solo. hlm 29
2. Dakwah
dengan melakukan perbaikan pada masyarakat Islam yang terkena musibah.
3. Memelihara
kelangsungan dakwah di kalangan masyarakat yang telah berpegang pada kebenaran,
melalui pengajaran secara terus-menerus, peringatan, penyucian jiwa, dan
pendidikan.
2.2.4.2
Kewajiban yang Shar’i
Dakwah merupakan
kewajiban syar’i, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Firman
Allah Swt.
Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang mengkar;merekalah orang-orang yang beruntung.
(Ali Imran104).
Ayat
ini secara jelas menunjukan wajibnya berdakwah, karena ada Lam Amr (Lam yang berarti
perintah) dalam kalimat waltakun. Sedangkan
kalimat minkum menunjukan fardhu kifayah. Karena itu, seluruh umat islam
diperintahkan agar sebagian mereka melaksanakan kewajiban ini.
2. Allah
Swt. berfirman,
Mengapa
orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka dari
mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat burukkah
apa yang telah mereka kerjakan itu. (Al-Ma’idah:63)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar,
ia berkata,”Ali bin Abi Tholib pernah berkhotbah. Setelah beliau memuji allah
dan menyanjung-Nya, beliau berkata,’Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum
kamu itu hancur karena mereka berbuat maksiat, sementara orang alim dan para
pendeta tidak melarang mereka dari kemaksiatan itu. Ketika mereka terus-menerus
asyik dalam kemaksiatan, mereka ditimpa siksa.17
17 Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah. Solo.
hlm 31-32
2.2.4.3 Keutamaan
Dakwah
Melalui dakwah yang dilakukan oleh para
ulama dan para aktivis untuk memperjuangkan agama ini, maka dengan ijin Allah,
umat akan berhasil menggapai kejayaan, keagungan dan kepemimpinan. Hal itu
hanya bisa dicapai dengan keikhlasan, keteguhan, kekuatan, keteladan dan
kecerdasan mereka.
Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata,”sesungguhnya aku
termasuk oang-orang yang berserah diri.”(Fushilat:33)
Ayat tersebut merupakan peringatan bagi
para dai, dan sekaligus sanjungan, bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik perkataannya
dari pada mereka, teruma para Rasul, kemudian para pengikutnya, sesuai dengan
tingkatan mereka dalam dakwah, ilmu, dan keutamaan.18
2.2.4.4 Karakter Dakwah
Kita
Dakwah islamiah memiliki beberapa
karakter yang membedakannya dari dakwah-dakwah yang lain. Disini akan kita
sebutkan secara ringkas sebagai berikut:
1. Rabaniyah,
artinya bersumber dari wahyu Allah Swt.
2. Wasathiyah,
artinya tengah-tengah atau tawazun (seimbang)
3. Ijabiyah,
artinya positif dalam memandang alam, manusia dan kehidupan.
4. Waqi’iyah,
artinya realistis dalam memperlakukan individu dan masyarakat.
5. Akhlaqiyah,
artinya sarat dengan nilai kebenaran, baik dalam sarana maupun tujuannya.
Dengan demikian, seorang dai harus
mengetahui dan memahami metodologi dakwah, agar umat merasa puas dan yakin
dengan dakwah kita. Seperti
a. Penyampaian
yang baik
b. Keindahan
unslub
c. Targhib
(memberi rangsangan) dalam kebenaran
d. Mempergunakan
kebijaksanaan dan nasihat yang baik
e. Bantahan
dengan cara yang lebih baik.19
18 Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh
Dakwah. Solo. hlm 42
19 Ibid hlm 45-47
f. Mempertimbangkan
situasi da kondisi
g. Penggunaan
sarana publikasi dan infosmasi yang paling modern
2.2.4.5
Faktor-Faktor Keberhasilan Dakwah
Diantaranya
faktor-faktor pendukung keberhsilan dakwah adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman
yang mendalam
2. Keimanan
yang kuat
3. Kecintaan
yang kukuh
4. Kesadaran
yang sempurna
5. Kerja
yang kontinu.20
2.2.4.6
Hal-hal
yang berkaitan dengan para Dai
Dakwah dan Dai
Islam bagaimana yang
telah kami jelaskan adalah agama dan kedaulatan. Esensi itu tidak diragukan
lagi oleh seorang muslim. Emikian juga islam meliputi dakwah sekaligus
penyerunya. Dakwah disini adalah menyeru manusia kepada islam yang hanif dengan
keutuhan dan keuniversalannya, dengan syi’ar-syi’ar dan syariatnya, dengan
akidah dan kemuliaan akhlaknya, dengan metode dakwahnya yang bijaksana dan
sarana-sarananya yang unik serta penyampaiannya benar.21
20
Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah. Solo hlm 52-53
21
Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah. Solo hlm 64
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Perkembangan ilmu dakwah mengalami kemajuan pesat pada awal abad
ke-20 M. Dimana pertumbuhan ilmu dakwah sudah mulai dikaji sesuai dengan
perkembangan dinamika keilmuan. Pada periode ini ilmu dakwah sudah mulai dikaji
secara spesialisasi dan pembidangan ilmu, seperti metode dakwah, psikologi
dakwah, manajemen dakwah, filsafat dakwah, komunikasi dakwah, sejarah dakwah,
komunikasi dakwah, dan lain-lain. Adapun dalam pendekatan kajian dakwah
diperlukan pendekatan keilmuan lainnya untuk menunjang keberhasilan dakwah,
seperti pendekatan edukatif, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis,
pendekatan historis, pendekatan komunikasi, dan lain-lain sesuai dengan situasi
dan kondisi sasaran atau objek dakwah.
Istilah
fiqh dakwah ditemukan pada abad 20 dengan lahirnya buku pertama yang ditulis
oleh said kutub dengan judul Fiqh al Dakwah. Dalam perkembangannya, fiqh telah
dikaji secara tematis, sehinga muncul istilah istilah baru yang merujuk pada
masalah fiqh antara lain fiqh kedokteran, fiqh wanita dan fiqh dakwah (masalah
yang terkait dengan kegiatan dakwah).dan lain- lain.
3.2 SARAN
Dengan
selesainya makalah ini, penulis berharap agar pembaca dapat mengambil sedikit
hikmah dari kandungan yang ada didalamnya. Setiaip karya pasti indah, namun
setiap keindahan itu belum tentu yang terbaaik. Maka penulis mohon maaf bila
terdapat kekurangan dalam penulisan ataupun kandung pokok bahasan. Kritik dan
saran akan kami terima, guna karya yang lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul, Drs. 2013. Ilmu Dakwah.
Jakarta: AMZAH
Ismail, Nawawi. 1975. Filsafat Dakwah.
Jakarta: PT BULAN BINTANG
Aziz Jum’ah. 2005. Fiqh Dakwah.
Solo: ERA INTERMEDIA
Munir, Muhammad. 2006. Manajemen
Dakwah. Jakarta : RENCANA PROSADA MEDIA GROUP